Beberapa hari lalu saya terlibat diskusi tentang kualitas perguruan tinggi dengan Pak Sulton mantan manajer di Islamic Development Bank (IDB) yang bermarkas di Arab Saudi. Pak Sulton ini adalah salah satu dari 3 orang Indonesia yang dikenal sebagai tiga serangkai di IDB Jeddah yang masuk kerjanya hampir bersamaan. Ketiganya kini sudah pensiun dari IDB. Selain Pak Sulton yang tinggal di Malang, ada Pak Arofah dan Pak Siddik. Ketiganya kebetulan saya kenal. Kalau pak Arofah saya mengenalnya saat sekolah di London dimana beliau pernah dipercaya mengurus wisma Merdeka di KBRI London. Sedangkan Pak Siddik saya kenal saat mengikuti Kongres dunia tentang Islamisasi Sains yang diadakan di Kuala Lumpur beberapa bulan lalu. Sekarang Pak Siidik bertugas di IIIT (International Institute of Islamic Thought) sebuah yayasan yang didirikan intelektual Islam terkemuka dunia yakni Prof. Ismail al Faruqi. Kebetulan baru-baru ini Pak Siddik hadir pada acara pertemuan antar Dekan Fakultas Saintek UIN se Indonesia yang diadakan di Fakulats Saintek UIN Maliki Malang sebagai tuan rumah.
Pak Sulton mengemukakan bahwa jika UIN Malang ingin dikenal maka universitas ini mesti berani merekrut cendekiawan atau intelektual kelas dunia menjadi dosen di UIN Malang. Dalam upaya meningkatkan kualitas akademik kita perlu membeli brain tokoh intelektual terkemuka dunia tidak hanya sekedar dosen dari luar negeri yang memberikan kuliah diisini. Kemudian Pak Sulton membandingkan UIN Maliki Malang yang sebenarnya sudah berdiri sejak tahun 1960 an dengan International Islamic University Malaysia (IIUM) yang baru berdiri tahun 1980 an. Menurutnya, IIUM demikian cepat terkenal karena semasa Prof. Abu Sulayman memimpin IIUM sejumlah ilmuwan Islam tingkat dunia direkrut sebagai dosen sehingga IIUM dikenal sebagai universitas kelas duania (world class university). Sementara itu menurut Pak Sulton sejarah UIN Malang telah dimulai sejak tahun 1960 an dimana beliau juga salah satu mahasiswanya yang dulu sempat menempati kampus yang sekarang menjadi kampus Unisma itu, sampai sekarang belum pernah merkrut cendekiawan kelas dunia hanya sekedar dosen dari luar negeri semata itu pun tidak dibiayai oleh UIN Malang. Meski untuk memperoleh dosen kelas dunia perlu dana yang tidak sedikit namun itu adalah resiko yang mesti dilakukan jikalau ingin UIN Maliki Malang dikenal dunia.
Saya sependapat dengan pak Sulton dalam beberapa hal seperti bahwa memang diperlukan dosen-dosen kelas dunia dan untuk menjadi world class university itu tergantung juga dengan kualitas dosen yang ada di UIN Maliki Malang. Tetapi saya tidak sependapat bahwa dosen kelas dunia itu hanya ada di luar negeri karena kita juga memiliki dosen yang karyanya bisa masuk dalam kategori kelas dunia dengan berbagai temuan yang telah menjadi rujukan dunia. Sebut saja misalnya Prof. Sutiman dengan beberapa temuannya yang sudah dikenal dunia bahkan ada perusahaan dunia yang tertarik membeli hak patennya. Sebenarnya kita punya dosen-dosen berkualitas hanya saja promosi dan publikasi yang belum gencar dilakukan terutama dalam bahasa Inggris.
Hal lain yang saya kurang setuju dengan pernyataan Pak Sulton adalah untuk membeli brain seorang dosen kelas dunia diperlukan dana besar yang mesti dikeluarkan untuk dimiliki UIN Malang. Berdasarkan pengalaman saya berinteraksi dengan universitas di luar negeri tidak semua ilmuwan terkemuka itu meminta bayaran tinggi, bahkan dengan membuat nota kesepahaman (MoU) antar universitas maka kita pun akan bisa memperoleh dosen kelas dunia tanpa harus mengeluarkan uang terlalu banyak karena biaya tetapi dibayar oleh universitas tempat mereka mengajar. Seperti diketahui bahwa alokasi perguruan tinggi di Indonesia untuk membayar dosen dengan harga mahal tentu belum tersedia memadai. Namun demikian dengan kondisi keterbatasan dana ini kita mesti kreatif melakukan terobosan agar juga dapat memperoleh dosen-dosen berkualitas dunia untuk UIN Maliki Malang.
Sepanjang sepengetahuan saya para intelektual muslim terkemuka tidak terlalu "money oriented" karena mereka juga memahami kondisi ekonomi dunia Islam, ini berbeda dengan kaum intelektual dunia non Muslim yang orientasi dan sikap profesionalitasnya senantiasa diukur dengans esuatu yang bersifat materi. Masih banyak intelektual terkemuka dunia yang beragama Islam yang bersedia menularkan ilmunya kepada cendekiawan muslim lainnya. Hanya saja memang diperlukan lobby-lobby yang meyakinkan sehingga para ilmuwan dunia itu berminat untuk menjadi bagian dari pengembangan SDM dan akademik di UIN Maliki Malang.
Posting Komentar