Politik dan Pendidikan Tinggi Islam

Di Indonesia ini terdapat dua kementerian yang mengurus lembaga pendidikan, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama. Kedua-duanya juga menyelenggarakan pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Oleh karena itu, selain terdapat perguruan tinggi di lingkungan Kemendikbud, juga terdapat lembaga pendidikan tinggi yang berada di Kemenag. UIN, IAIN, dan STAIN yang semuanya berjumlah 53 buah, tersebar dari Aceh hingga Papua, adalah lembaga pendidikan tinggi Islam yang berada di bawah pembinaan Kementerian Agama.

Pemikiran untuk menyatukan penyelenggaraan pendidikan antara yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan di Kementerian Agama, agar tidak terjadi semacam dikotomik, sudah lama muncul. Tetapi hingga sekarang, pemikiran itu belum ada tanda-tanda keberhasilan. Tatkala konsep UU Pendidikan Tinggi disusun beberapa waktu, juga muncul pemikiran itu. Akan tetapi lagi-lagi, penyatuan itu masih belum berhasil dilakukan. Kedua kementerian tersebut, dalam UU Pendidikan Tinggi, masih memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi.

Pada awalnya, pendidikan tinggi di lingkungan Kementerian Agama hanya terbatas mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan, seperti syari’ah, ushuluddin, dakwah, tarbiyah, dan adab. Akan tetapi, sejalan dengan semakin meluasnya wawasan tentang ke-Islaman, maka jenis ilmu yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan tinggi di bawah kementerian Agama juga bertambah luas. Perubahan status STAIN dan IAIN menjadi UIN di beberapa kota, dan bahkan rupanya masih akan diikuti oleh yang lain, maka pendidikan tinggi di kemeterian agama akan mengembangkan jenis ilmu pengetahuan yang semakin luas, dan bahkan akan sama dengan yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan di bawah kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Semangat perubahan kelembagaan seperti itu, tentu tidak mudah ditahan. Biasanya perubahan yang didorong oleh kekuatan dari dalam, semakin lama akan semakin kuat. Oleh karena itu tidak mustahil, manakala saat ini hanya terdapat 6 UIN di seluruh Indonesia, maka pada saatnya ke depan jumlah itu akan semakin bertambah. Apalagi, perkembangan UIN juga semakin menunjukkan sosok ideal pendidikan tinggi Islam. Sejak lama umat Islam menginginkan agar ada lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari kitab suci dan sekaligus dari kegiatan ilmiah pada umumnya. Rupanya, UIN yang baru beberapa tahun terakhir muncul itu, pada kadar tertentu, telah berhasil memenuhi kehendak itu.

Prestasi yang dihasilkan oleh UIN semakin mendorong perguruan tinggi agama untuk melakukan perubahan kelembagaan, yaitu perubahan dari IAIN ke UIN. Bahkan semangat berubah itu juga muncul pada perguruan tinggi agama non Islam, seperti Hindu, Kristen, dan lainnya. Beberapa IAIN yang ingin berubah, di antaranya IAIN Arraniry Aceh, IAIN Medan, IAIN Palembang, IAIN Semarang, dan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sementara IAIN yang lain menunggu giliran untuk melakukan usaha-usaha yang sama. Tentu perubahan itu tidak mudah dilakukan. Perubahan itu selalu melewati proses panjang sebagaimana perubahan yang dialami oleh ke 6 UIN sebelumnya.

Dalam suatu pembicaraan di forum pertemuan Pimpinan Perguruan Tinggi Agama di Jakarta, saya pernah menyatakan bahwa perubahan kelembagaan itu sebenarnya tidak akan lepas dari persoalan politik. Manakala ada kemauan politik dari pemerintah untuk mengubahnya, maka tidak akan ada sesuatu yang sulit. Sayangnya kemauan itu belum ada. Proses itu kemudian menjadi sangat panjang. Untuk mendapatkan Surat Keputusan Presiden harus mendapatkan pertimbangan dari berbagai kementerian. Persetujuan itu tidak saja dari Kementerian Agama, tetapi juga dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Aparatur Negara, Kementerian Keuangan, Menteri Sekretaris Negara. Proses panjang akan mudah dilalui manakala hal tersebut sudah menjadi keputusan politik pemerintah.

Manakala pendekatan politik yang ditempuh, maka proses panjang itu akan menjadi pendek. Tidak perlu semua IAIN yang ingin berubah melakukan negosiasi satu demi satu kepada masing-masing kementerian. Justru kementerian yang seharusnya aktif mendorong agar IAIN mempersiapkan diri. Akan tetapi gambaran ideal itu juga tidak akan menjadi kenyataan, manakala orang yang memiliki semangat perubahan itu tidak mampu menyampaikannya kepada pengambil keputusan politik. Saya pernah mengatakan di forum pertemuan pimpinan PTAN, umpama kemauan berubah itu datang dari para pengambil keputusan politik, ------Presiden atau DPR misalnya, maka tidak akan lewat proses dan prosedur yang berbelit, berliku, hingga sangat melelahkan. Maka sekarang persoalannya adalah bagaimana, semangat perubahan itu menjadi kebijakan politik, yaitu untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi yang berbasis agama di negeri ini.

Sekarang ini sebenarnya adalah waktu yang tepat untuk memperjuangkan agar perubahan tersebut menjadi keputusan politik. Menjelang Pemilu 2014, seperti sekarang ini, maka ide-ide perubahan kelembagaan dari STAIN atau IAIN ke UIN bisa disosialisasikan kepada para calon wakil rakyat dan bahkan kepada para Calon Presiden. Umpama para calon pejabat politik itu kemudian memahami jiwa dan ruh yang menyemangati perubahan kelembagaan itu, dan kemudian setelah terangkat akan memperjuangkannya, maka proses perubahan itu tidak perlu berbelit dan memerlukan waktu lama. Persoalannya, apakah pimpinan PTAN (Perguruan Tinggi Agama Negeri) berani menempuh jalur pendekatan ini, maka yang tahu adalah mereka sendiri. Saya sudah pernah menyampaikannya. Umpama pemikiran itu berhasil diwujudkan, maka saya yakin pendidikan Islam di Indonesia ke depan akan semakin semarak dan maju. Wallahu a’lam.

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Aditya Nusantara | Berita Terbaru | Berita Kampus
Copyright © 2014. IMAKA MALANG - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger