Polemik terkait tujuan tempat belajar antara ke Barat dan atau ke Timur Tengah sudah lama berkumandang. Sementara tokoh mengatakan bahwa belajar Islam harus ke tempat di mana Islam itu diturunkan. Sementara yang lain berpendapat bahwa belajar Islam bisa ke mana saja, termasuk ke Barat. Di tengah-tengah polemik itu ada saja anak-anak muda Indonesia berangkat ke Barat untuk menempuh studi Islam. Demikian pula sebaliknya, tidak sedikit yang berangkat ke Timur Tengah untuk tujuan yang sama.
Hasilnya, pada saat sekarang ini, ------di Indonesia, banyak sarjana Islam lulusan dari Barat dan demikian pula lulusan Timur Tengah. Mereka itu tersebar di kampus-kampus perguruan tinggi, bekerja sebagai tenaga ahli, penulis, dan atau juga sebagai pendidik di berbagai jenis lembaga pendidikan lain atau mengabdi di tengah-tengah masyarakat. Ternyata mereka itu, baik yang berpendidikan dari Barat maupun dari Timur Tengah bisa bekerjasama membangun pendidikan Islam dan juga bidang-bidang lainnya.
Sekalipun demikian, masih ada saja orang yang meneruskan polemik itu, antara belajar ke Barat atau ke Timur Tengah. Nabi Muhammad sendiri sebagai pembawa Islam, dalam suatu hadits mengatakan : “ Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri China”. Lewat sepotong hadits ini, kiranya mudah dipahami, bahwa dalam soal mencari ilmu tidak perlu dibatasi, silahkan ke mana saja, dan bahkan ke negeri China pun tidak dilarang.
Selama ini, saya tidak terlalu tertarik ikut berpolemik soal mau belajar Islam ke mana. Saya justru berpendapat bahwa, belajar Islam seharusnya di Indonesia saja. Sekarang, di negeri ini sudah banyak lembaga pendidikan Islam, baik berupa pesantren dan juga perguruan tingi Islam. Perguruan tinggi Islam yang berstatus negeri sudah berjumlah 53 buah, tersebar di seluruh Indonesia. Di perguruan tinggi Islam itu sudah banyak dosen dan bahkan guru besarnya. Mereka itu sebagian lulusan Timur Tengah, Barat, dan juga dari dalam negeri sendiri yang kualitas mereka tidak kalah dibanding lulusan dari berbagai negara asing.
Selama ini, saya belum bisa membedakan antara kualitas pemikiran lulusan yang berasal dari Barat, dari Timur Tengah, dan juga dari dalam negeri sendiri. Pemikiran mereka yang bisa saya baca dari tulisan-tulisannya juga sama. Bahkan juga ada lulusan dari Barat atau Timur Tengah yang sangat sulit dilihat kualitas pemikirannya. Kesulitan itu diakibatkan dari terbatasnya tulisan yang bersangkutan. Tidak semua lulusan luar negeri aktif menulis buku atau artikel yang dipublikasikan. Selain itu, pemikiran mereka juga tidak menonjol dalam diskusi atau pertemuan-pertemuan ilmiah.
Sebaliknya, tidak sedikit lulusan dari dalam negeri sendiri yang amat produktif. Buku-buku dan juga artikel yang dihasilkan oleh mereka cukup banyak. Bagi saya, kualitas pemikiran sarjana ilmu-ilmu sosial, termasuk sarjana pemikiran Islam hanya bisa dilihat dari tulisannya dan juga pembicaraannya. Manakala mereka tidak pernah menulis dan juga apalagi tidak pernah berbicara, -------kecuali di ruang kuliah, maka pertanyaannya, apa yang bisa digunakan untuk mengukur atau mengetahui kualitas pemikirannya. Sementara itu, dosen lulusan perguruan tinggi dari Barat dan juga dari Timur Tengah tidak selalu produktif dalam menulis dan juga dalam menyampaikan pikiran-pikiran (yang seharusnya) cerdas.
Atas dasar kenyataan itu, saya berani mengatakan bahwa lulusan perguruan tinggi di dalam negeri sendiri tidak selalu kalah dibanding dengan lulusan luar negeri, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu sosial, ilmu pendidikan, dan lain-lain, termasuk pemikiran keagamaannya. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah, untuk maksud apa kita selalu berdebat tentang tujuan belajar antara ke Barat atau ke Timur Tengah. Perdebatan itu, menurut hemat saya, harus segera dihentikan. Kita tidak perlu lagi berdebat antara harus belajar ke Barat atau ke Timur Tengah. Silahkan saja memilih sendiri, ke mana saja yang mereka sukai.
Namun dalam kontek menentukan tujuan belajar ini, sebenarnya saya justru berpikir lain. Menurut hemat saya, belajar Islam tidak harus ke Barat atau ke Timur Tengah. Belajar Islam bisa saja cukup di Indonesia sendiri. Bahkan orang-orang Timur Tengah dan atau orang Barat sekalipun seharusnya diundang ke Indonesia untuk belajar Islam. Perguruan tinggi Islam dan juga pemikir, ulama, guru besar tentang kajian Islam di Indonesia sudah cukup banyak. Anak-anak bangsa ini sudah lama belajar tentang Islam ke berbagai negara. Artinya, bangsa ini sudah lama menjadi murid, maka harus segera berubah, yaitu tampil menjadi guru. Bermental murid harus segera diubah menjadi bermental guru.
Mungkin pandangan tersebut dianggap terlalu berani dan mengada-ada. Silahkan saja orang berpandangan pesimistik atau tidak percaya diri. Saya sedikit banyak telah membuktikan, bahwa bangsa Indonesia ini sebenarnya bukan ditakdirkan menjadi bangsa murid, bangsa yang harus selalu diajari, dan berada di level bawah. Bangsa Indonesia sebenarnya bisa menjadi unggul. Hanya dalam waktu singkat, saya bersama semua warga kampus berhasil membuktikannya.
Banyaknya mahasiswa asing yang belajar di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang adalah sebagian dari bukti tentang potensi maupun keunggulan bangsa ini. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada tahun-tahun terakhir ini telah kedatangan mahasiswa asing yang berasal tidak kurang dari 29 negara. Kenyataan ini membuktikan bahwa bangsa ini sebenarnya sudah waktunya menjadi guru, dan bukan lagi berpolemik harus belajar ke Barat atau ke Timur Tengah. Anak-anak bangsa yang berasal dari berbagai belahan dunia harus diajak dan ditunjukkan agar belajar ke Indonesia, setidaknya tentang Islam.
==================
Recommended Bisnis Online Terbaru 2014 klik disini
==================
Posting Komentar