TERUS terang, lermbaga pendidikan tinggi kita saat ini belum mampu memenuhi tuntutan pendidikan nasional secara utuh sebagaimana yang diamanatkan GBHN: terciptanya kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa dan berilmu pengetahuan tinggi.Di samping, juga demi memenuhi keinginan orang tua wali murid, agar anak-anaknya mampu menguasai Iptek dan sekaligus mempunyai modal keimanan dan ketaqwaan yang kuat kepada Allah.
Padahal, masyarakat kita sangat membutuhkan adanya lembaga pendidikan ideal seperti itu. Yaitu, lembaga pendidikan yang mampu memberikan ilmu pengetahuan dan teknologi maju (Iptek) sekaligus menubuhkan keimanan dan ketaqwaan. Hal ini bisa dibuktikan dengan membludaknya calon mahasiswa yang igin masuk IAIN ketika masih terbuka program tadris, matematika dan bahasa Inggris. Di situ mereka bisa mendapatkan dua keuntungan, menguasai ilmu-ilmu umum (matematika dan bahasa Inggris) dan sekaligus ilmu-ilmu agama.
Kondisi Perguruan Tinggi.
Perguruan tinggi kita saat ini telah banyak memberikan andil bagi pembangunan SDM nasional. Amat banyak sarjana dan ilmuwan dilahirkan dari sana. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kualitas keilmuan dan pembinaan moralnya, masih sangat jauh ketinggalan dan kita patut prihatian.
Untuk soal kualitas, bisa dilihat dari segi relevansinya dengan dunia kerja. Pada tahun 1989, angka partisipasi pendidikan tinggi kita 2,3%, sedang Malaysia telah mencapai 5,1% dan Taiwan 10,1%. Tahun 1991 ada kenaikan, menjadi 10%. Namun, itu juga belum bisa dibanggakan, karena angka itu telah dicapai Korea pada tahun 1975. Sebagai perbandingan, angka partisipasi pendidikan tinggi 38% dicapai Filipina tahun 1985, Thailand 20% tahun 1985, Singapura 12% tahun 1983.
Rendahnya partisipasi pendidikan tinggi kita terhadap dunia kerja ini kemudian memunculkan masalah baru; soal pengangguran yang semakin tahun semakin meningkat. Dalam hasil suatu studi proyeksi yang diadakan ketika mempersiapkan Repelita V yang lalu disimpulkan bahwa jika dunia pendidikan kita tetap berjalan sebagaimana yang ada sekarang, akhir Repelita V akan terdapat surplus tamatan pendidikan sebanyak 614,2 ribu, seterusnya 1 juta lebih pada akhie Repelita VI, dan 1,7 juta pada akhir Repelita VII (Tilaar, 1992, 152).
Bahkan, dilihat dari poros pendidikan dasar - pendidikan tinggi, ada kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula peluangnya untuk jadi penganggur. Kelebihan lulusan pendidikan tinggi ini cenderung semakin berlipat-lipat dari Repelita ke Repelita.
Tentang lemahnya pembinaan moral keagamaan di perguruan tinggi, bisa dibuktikan dengan banyaknya penyelewengan, kolusi, korupsi --yang menurut Sumitro sampai mencapai 30 % dari dana pembangunan-- yang dilakukan oleh "orang-orang besar" yang notabene pernah dididik di lembaga perguruan tinggi. Juga bisa dilihat dari seringnya muncul kasus kumpul kebo, narkoba, maraknya budaya sontek-menyontek ketika ulangan, menjiplak skripsi, jual-beli nilai atau yang lain yang tidak sesuai dengan moral akademis dan moral agama.
Dari situ, apa yang dinamakan nilai-nilai keihlasan dalam menuntut ilmu akhirnya juga menjadi terasa hambar. Kegiatan kuliah tidak lagi didasarkan pada niat yang murni untuk meningkatkan kualitas dan potensi diri sebagai aktualisasi ibadah, tapi telah bergeser kearah tujuan-tujuan lain yang lebih prakmatis dan duniawi. Akibatnya, mereka masuk kuliah bukan untuk mencari ilmu, tetapi hanya mengejar nilai formalitas; angka-angka atau selembar ijazah, yang cara mendapatkannya bisa dengan jalan pintas sebagaimana yang banyak terjadi dalam kasus pendidikan kita.
Lembaga Pesantren.
Sementara itu, lembaga pesantren, yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai lembaga pendidikan nomor tiga --setelah lembaga pendidikan umum dan agama, dari MIN sampai IAIN-- ternyata mempunyai banyak kelebihan dalam bidang pembentukan moral, yang itu justru sangat dibutuhkan dalam masa-masa kegersangan ruhani seperti saat ini. Di pesantren, nilai-nilai keihlasan --yang di dunia perguruan tinggi telah banyak bergeser ke arah materialistik-- justru tumbuh dengan subur. Dalam pandangan mereka, belajar mengajar, bukan semata demi mengejar prestasi duniawi, tetapi lebih merupakan salah satu dari realisai ibadah.
Di samping itu, pesantren juga punya nilai lebih dalam soal kemandirian dalam kewirausahaan. Para santri punya gairah yang kuat untuk mandiri, sehingga dalam soal pengangguran yang telah mencapai ambang mengkhawatirkan dewasa ini, karena banyaknya sarjana yang tidak mendapat lahan kerja, justru para santri tidak ada yang menganggur. Mereka bisa bekerja apa saja, tanpa pilih-pilih, asal halal. Dan dengan modal semangat seperti itu, bisa dilihat akhirnya banyak santri yang tidak hanya mampu menciptakan lapangan kerja yang baik untuk diri dan keluarganya, tetapi juga untuk masyarakat lain.
Terbentuknya sifat dan sikap yang bagus dalam pribadi para santri tersebut adalah karena adanya sistem dan kondisi yang kondusif dalam pesantren. Dalam kehidupan pesantren, para santri --secara tidak langsung-- telah dilatih untuk mandiri, dibiasakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga tumbuh sikap tidak menggantungkan diri pada orang lain.
Disamping itu, pengajaran pesantren lebih menekankan kemampuan aplikasi, kemampuan menterjemahkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, yang dalam pesantren dikenal dengan istilah ilmu manfaat. Keberhasilan seorang santri tidak diukur dari sisi banyaknya ilmu atu jumlah kitab yang telah dikaji melainkan pada kemampuan dan keberhasilannya dalam mengaplikasikan ilmunya di masyarakat, yang itu sekaligus merupakan berkah atau barokah. Karena itu, setiap santri berusaha mendayagunakan semua ilmunya bila telah keluar, dan karena itu mengapa santri mempunyai "etos kerja" yang lebih baik dibanding lulusan perguruan tinggi; santri lebih bisa diterima (berguna) di masyarakat.
Penyebab Mutu Rendah
Rendahnya kualitas PT kita seperti di atas, sehingga selal tertinggal oleh perguruan tinggi negara-negara jiran, jika diamati, salah satunya adalah dikarenakan minimnya dana pendidikan yang berikan pemerintah. Tahun 1994/1995, dunia pendidikan di Indonesia hanya mendapat jatah 3,9% dari APBN (JP/7/01/94), pada tahun ini bahkan lebih minim, 4,3%. Sementara itu, di Malaysia, Korea Selatan, dan Filipina, lembaga pendidikan mendapat alokasi dana sebesar 30 % dari APBN (Studwick, 1991).
Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan. Dalam memasuki era global dan pasar bebas ini, di mana persaingan semakin tajam dan kualitas produk termasuk produk perguruan tinggi semakin menjadi tuntutan, mau tak mau, lembaga perguruan tinggi harus mau dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga di luar negeri, minimal tidak kalah dengan lembaga pendidikan negara tetangga. Untuk bisa meningkatkan kualitas atau agar lembaga pendidikan mampu mengejar ketertinggalannya, maka diperlukan tambahan dana yang besar untuk pendidikan, minimal empat kali dari yang ada sekarang.
Tentang penyebab lemahnya pembentukan dan pembinaan moral keagamaan di perguruan tinggi, karena tidak adanya keseimbangan antara muatan agama dan pengetahuan umum dalam kurikulum pendidikan. Di Perguruan tinggi, untuk mencapai sarjana S1, seseorang harus menempuh sekitar 160 SKS, dan hanya 2 SKS yang berupa pendidikan atau pengetahuan keagamaan. Itupun sudah untuk pengetahuan agama yang amat luas; aqidah, syariah dan ahlak.
Dalam perbandingan seperti itu, sudah barang tentu akan sulit bagi perguruan tinggi untuk mampu menelurkan sarjana-sarjana yang utuh sebagaimana yang diamanatkan GBHN. Bila kita tengok kembali tujuan pendidikan nasional terakhir, kurikulum yang ada di perguruan tinggi saat ini, juga lembaga-lembaga di bawahnya, berarti patut ditinjau kebali, khususnya kurikulum lokalnya. Memang ada perguruan tinggi yang memberikan tambahan pendidikan keagamaan sendiri secara khusus, seperti perguruan tinggi yang dikelola al-Maarif seperti Unisma Malang, Universitas Muhamadiyah, atau yang lain. Di sana pendidikan agama mencapai 8 SKS. Namun, di sini kita juga masih patut bertanya, apakah itu sudah mencukupi? Mengingat, dalam perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut kurang adanya penekanan soal pengamalan keagamaan pada waktu-waktu yang lain.
Bukankah banyak juga sarjana yang mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang keagamaan dan mereka dahulu di didik di perguruan tinggi umum? Secara kasuistik, memang tidak bisa dipungkiri adanya kenyataan seperti itu. Saat ini, tidak jarang kita temui tokoh-tokoh yang mempunyai pengetahuan Iptek tinggi sekaligus pengetahuan agama yang mendalam dan mereka pada mulanya menempuh pendidikan di perguruan tinggi umum (bukan pesantren). Tidak jarang ditemukan seorang professor atau Doktor di berbagai bidang keilmuan yang ternyata memiliki kedalaman ilmu agama. Sehingga lantas sering terjadi ada professor yang sekaligus seorang ustad atau ustadzah. Banyak ilmuan yang tampil sebagai penceramah agama di berbagai tempat.
Namun, hal itu bukan berarti materi pendidikan agama di perguruan tinggi telah mampu mengembleng seorang mahasiswa menjadi ahli dan bermoral agama yang kuat. Sebab, jika ada guru besar yang juga seorang ustad, ternyata hal itu karena adanya gemblengan agama yang demikian insentif dalam keluarga atau lingkungannya.
Unggulan.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan dan ketertinggalan pendidikan kita dibanding pendidikan di Negara-negara tetangga, perlu adanya perguruan tinggi khusus yang mampu membekali sains dan teknologi tinggi kepada mahasiswanya, di samping penanaman moral keagamaan yang mendalam. Atau sebuah perguruan tinggi unggulan yang bernafaskan moral pesantren (PTU-MP)
Selama ini –walau mutunya masih kalah bersaing, bahkan tertinggal jauh dari lembaga pendidikan yang ada di luar negeri— dunia perguruan memiliki keunggulan dalam bidang penguasaan Iptek. Sedang pondok pesantren, sebagaimana diuraikan, memiliki keunggulan bisang pembinaan pribadi yang beriman dan bertaqwa. Di samping itu, juga dalam sikap kemandirian dan keihlasan yang demikian intensif dalam menuntut dan mengaji ilmu. Perguruan tinggi unggulan yang diharapkan mampu memenhi tuntutan GBHN tersebut adalah sebuah perguruan tinggi yang mengabungkan kelebihan-kelebihan perguruan tinggi dengan kelebihan-kelebihan pesantren, dengan system dan pengelolaan khusus.
Namun demikian, yang perlu diperhatikan, PTU ini tidak berniat menelorkan sarjana yang menguasai pengetahuan umum sekaligus agama. Tetapi, sarjana yang menguasai Iptek sekaligus berperilaku agamis. Soal perilaku dan sikap inlah yang dipentingkan. Bukan sekedar penguasaan terhadap ilmu-ilmu agama. Karena itu, dalam kurikulum PTU itu nantinya, tidak semata-mata dengan menambahkan materi-materi agama dalam jumlah besar dengan perbandingan 50-50 misalnya. Tidak. Materi agama bahkan hanya sekitar 30 SKS saja. 160 SKS lainnya tetap dengan ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Lalu baaimana dengan model kurikulum seperti itu PTU mampu membentuk sarjana yang berperilaku agamis? Perilaku manusia sangat dipengaruhi lingkungannya. Karena itu, untuk menciptakan sarjana yang berkepribadian santri, maka para mahasiswa PTU ini akan dididik dalam lingkungan pesantren. Kasarnya, mereka di asramakan. Sehingga, dengan demikian, pembinaan mahasiswa dalam berbagai aspek kehidupan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Begitu pula aktivitas ekstrakurikulernya.
Namun, model asrama yang dimaksudkan disini bukanlah sekedar asrama sebagaimana yang sering dijumpai di kota-kota, atau di instansi-instansi tertentu. Sistem asrama atau pemindikan bagi segenap mahasiswa PTP ini harus diupayakan sedemikian rupa sehingga mampu meniru dan menumbuhkan "dimensi positip" pesantren, baik segi kegiatan maupun pembinaannya. Misalnya dalam soal kegiatan salat jamaah sehari-harinya, tahajud atau yang lain, sehingga dari sana bisa tumbuh rasa keihlasan, hubungan yang harmonis antara santri (mahasiswa) dengan kyai (dosen), antara mahasiswa dengan mahasiswa, juga sikap kemandirian.
Dengan format seperti itu, PTU akan tampil dengan sosok baru, lembaga pendidikan tinggi yang relatif lebih komplet dibanding lembaga pendidikan lainnya. Dan jika gagasan ini bisa direalisasikan, maka tujuan pembangunan nasional; menciptakan manusia Indonesia yang adil dan makmur, kiranya akan cepat terwujud.
Biaya Investor
Untuk mewujudkan PTU, jelas membutuhkan dana yang sangat besar. Untuk itu, pengelolalannya ini diserahkan kepada investor, bisa dari dalam negeri atau luar negeri (investor asing). Gagasan untuk menyerahkan pengelolaan PTU kepada investor (asing) ini didasarkan atas beberapa alasan. Pertama, saat ini kita tidak mampu menaikkan anggaran dana pendidikan sampai minimal 30% dari APBN, untuk mengejar ketertinggalan dengan Negara-negara tetangga. Padahal, lembaga pendidikan kita sangat membutuhkan dana tersebut untuk mengejar keteringgalan tersebut.
Kedua, untuk menghemat biaya dan menjaga moral plus nasionalisme. Jika pemuda kita sekolah di PTU dalam negeri, karena mtunya yang tidak kalah dengan luar negeri, maka berarti dapat menghemat biaya pendidikan bila dibanding dengan sekolah di sana (luar). Minimal biaya hidup lebih ringan di samping rasa nasionalismenya tidak akan luntur dan pembinaan moralnya terjamin.
Ketiga, bisa untuk menarik devisa. Bila pendidikan kita bermutu karena adanya dana dari investor sehingga mampu membuka kelas-kelas internasional berarti pemasukan devisa bagi negara. Australia secara sadar menjual jasa pendidikannya keluar negeri sehingga ribuan mahasiswa datang ke sana, dan Australia sempat meraih devisa ketiga besarnya dari sektor industri jasa pendidikan ini.
Keempat, bisa merangsang perkembangan pendidikan di tanah air. Dengan adanya peran investor sehingga PTU memiliki mutu dan peralatan yang lebih lengkap di sini, maka mau tidak mau, hal itu merangsang lembaga-lembaga pendidikan yang ada untuk lebih meningkatkan kualitasnya, bila mereka ingin tetap eksis.
================
Bisnis Online yang Paling Banyak Bonusnya? klik disini
================
Posting Komentar