Dukuh Plapar ini mengingatkan pada saya bagaimana ayah saya dalam berdakwah melakukan pendekatan dengan masyarakat yang belum mengerti sama sekali tentang Islam, sehingga kegiatan sehari-hari mereka jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka sangat biasa mengkonsumsi makanan yang tidak halal seperti daging babi hutan, melakukan judi, minuman keras dan perbuatan haram lainnya. Ayah saya memperlakukan mereka sebagai masarakat yang memerlukan penghormatan, artinya terhadap mereka tidak pernah menyakiti dengan cara menyindir dengan kata-kata, apalagi mengolok-olok. Ayah saya selalu melihat mereka sebagai masyarakat yang belum mengerti tentang Islam, karena itu harus dididik dengan cara sebijak mungkin.
Ayah saya selalu berpendapat bahwa sekalipun yang dilakukan mereka jauh dari ajaran Islam, tetapi bagi mereka sudah dipandang benar. Oleh karena itu, jika kita mencoba menyalahkan dan berusaha mengajak ke jalan yang benar ---menurut kita yakni Islam, mereka pun akan menolak. Sebab, apa yang mereka lakukan selama ini diperoleh dari leluhur mereka yang sangat dicintai dan dihormati. Merubah pandangan hidup mereka, jika tidak dilakukan secara hati-hati atau bilkhikmah, akan dimaknai sebagai tidak menghormati para leluhur mereka.
Kata yang lebih tepat untuk mengubah masyarakat ini adalah alkulturasi. Ayah saya tidak pernah mengubah secara drastic dan total kebiasaan mereka. Justru melalui kebiasaan-kebiasaan mereka, dengan sedikit demi sedikit mengenalkan faham tentang Islam ke dalamnya. Suatu misal, di dukuh ini terdapat kebiasaan melakukan bersih desa, kenduri atau selamatan dengan berbagai sesajen. Ayah tidak pernah menyuruh berhenti dari menjalankan kebiasaan itu. Akan tetapi justru melalui kebiasaan itu, ayah mengenalkan ajaran Islam secara bertahap, sedikit demi sedikit. Dalam sesajen yang terdiri atas berbagai jenis makanan yang dihidangkan, ayah yang selalu diminta tampil untuk memberikan penjelasan maksud kenduru diselenggarakan, selalu menyelipkan pada penjelesannya sesuatu yang mengarah pada ajaran tauhid. Sedemikian lembut dan samarnya penjelasan itu, sehingga mereka tidak terasa bahwasanya alam pikiran mereka sedang dipengaruhi dan diubah.
Ayah saya selalu memberikan penjelasan pada saya, bahwa tidak mungkin mengubah masyarakat dapat berhasil dilakukan dengan cara tergesa-gesa, apalagi secara frontal. Kata dia, yang diubah bukan fisik melainkan kawasan hati atau keyakinan.
Istilah dukuh, menunjuk pada wilayah bagian dari sebuah desa. Desa pada umumnya terdiri atas beberapa dukuh. Dukuh Plapar sendiri masuk Desa Watulimo, letaknya jauh dari jalan besar yang bisa dilewati kendaraan roda empat. Ke padukuhan ini, orang biasa menempuh dengan jalan kaki, berjarak kira-kira 3 km dari kantor kelurahan. Waktu saya masih anak-anak, seumur anak sekolah dasar, biasa orang pergi kemana-mana dengan jalan kaki. Kendaraan baik roda dua apalagi roda empat, masih amat jarang ditemui. Pemilik kendaraan bermotor baru dapat dihitung dengan jari jumlahnya, dan hanya beberapa saja yang memiliki sepeda pancal.
Dukuh Plapar dikenal masyarakat sebagai wilayah yang penduduknya gemar berburu babi hutan. Mereka beragama Islam, tetapi tidak mengenal ajaran Islam, kecuali dalam batas yang sangat sederhana, misalnya jika mereka mau berkhitan, nikah dan tatkala meninggal dunia. Entah darimana ajaran ini diperoleh, tidak ada kejelasan. Karena tidak mengenal agama, maka sehari-hari mereka mengkonsumsi daging babi hutan menjadi biasa, demikian berjudi, mabuk-mabukan, dan bergantian isteri juga dianggap hal yang tidak terlalu aib.
Anehnya masyarakat seperti ini tatkala anak mereka menginjak usia belasan tahun juga dikhitan. Begitu pula ketika melangsungkan pernikahan juga mengikuti ajaran Islam. Mereka mengundang pejabat pencatat nikah yang dipanggil dengan sebutan Naib. Pejabat Kantor Urusan Agama (KUA), yang biasanya berkantor di tingkat kecamatan, dengan disebut Naib juga mengalami kesulitan tatkala menikahkan mempelai berdua. Biasanya sebagai pertanda, mereka beragama Islam agar dapat dilayani prosesi pernikahan secara Islam, maka Naib harus menuntunm mereka mengucapkan dua kalimah syahadah. Namun sebatas mengucap syahadah ini mereka selalu mengalami kesulitan, karena memang tidak terbiasa diucapkan.
Memperoleh gambaran masyarakat Dukuh Plapar seperti itu, umumnya kaum santri yang bertempat tinggal di luar Dukuh Plapar tidak mau mendekat. Kaum santri menganggap orang Plapar sebagai orang yang tidak beragama, pemakan daging babi, penjudi, peminum dan seterusnya. Sekalipun tidak pernah terjadi konflik di antara kedua kelompok yang berbeda ini, mereka tidak saling berkomunikasi secara dekat. Di anatara mereka hanya merasa bukan kelompoknya. Mereka masing-masing memiliki kebiasaan dan adat istiadat yang berbeda. Bahkan jika kaum santri, pada saat-saat tertentu harus datang ke Dukuh Plapar biasanya dsilakukan dengan hati-hati, agar tidak makan makanan yang mengandung daging babi.
Pada umumnya, entah dari mana mereka mendapatkan ajaran ang bagus, di antara kelompok yang berbeda dari intensitas keberagamaan itu, ternata tidak pernah terjadi konflik. Di antara mereka sama-sama memahami atas perbedaan itu. Kaum santri biasanya disebut sebagai kaum putih, sedang masyarakat Plapar disebut sebagai kaum merah. Mungkin, perbedaan itu masih diredam oleh adanya saling membutuhkan, misalnya tatkala ada pernikahan, kematian dan sejenisnya, orang Plapar selalu membutuhkan jasa orang santri.
Kerja ulet dan telaten yang dilakukan oleh para da'i, ternyata sekarang Dukuh Plapar sudah berubah secara total. Di dukuh itu sekarang sudah ada masjid dan madrasah. Tidak ada lagi orang membawa tombak dan anjingnya ke hutan untuk berburu babi hutan. Orang-orang Plapar saat ini kalau sore datang ke masjid sholat berjama'ah. Di sana-sini terdengar suara adzan tatkala waktu sholat tiba. Demikian pula bacaan al Qur'an dengan mudah didengar dari berbagai tempat, baik dari rumah maupun masjid. Perubahan itu terjadi, karena para da'i menempuh cara yang tepat dalam berdakwah. Para da'i tidak menjauh dari masyarakat, tetapi justru mencoba menghargai, menghormati dan cara berpikir orang Plapar. Hasilnya orang Plapar menjadi simpatik dan akhirnya mengikuti seruan para dai, sehingga menjadi muslim taat. Melalui kegiatan diba'an, berzanji dan juga tahlil, lama kelamaan orang Plapar menjadi santri. Apalagi, kegiatan kesenian yang bernafas Islam juga dikembangkan. Dakwah seperti ini kiranya yang justru diperlukan agar berhasil dan bukan menakut-nakuti atau mengancam bahkan juga membuat peraturan.
sumber : Imam Suprayogo